Kamis, 13 Maret 2014

Angsa berpita merah jambu

Tuan, bisakah Aku meminta tolong?

Tolong...

Beritahu Aku, bagaimana caranya Aku berpaling jika yang kau tawarkan adalah cinta yang lebih putih dari bulu Angsa berpita merah jambu itu.

Beritahu Aku, bagaimana mungkin Aku acuh jika kau datang dengan tatapan yang lembut dari bulu Angsa berpita merah jambu itu.

Beritahu Aku, bagaimana Aku melupakanmu jika setiap detail tentangmu masih terekam sempurna dibenakku
Beritahu Aku, bagaimana Aku pergi jika pesonamu seakan merengek tak ingin ditinggal

Beritahu Aku, bagaimana bisa Kau mencintaiku jika Aku tak secantik angsa-angsa putih berpita merah jambu itu.

Tuan....
Kepada semua yang kau pikirkan selain tentangku, Aku cemburu.

Pada dada bidangmu Tuan, kurebahkan harap bersama lebih lama dari selamanya.

Berbahagialah disini Tuan, di sisiku menjadi tempat cinta yang lebih jernih dari danau Angsa-Angsa berpita merah jambu itu menari kujatuhkan.




Lembar Kosong

            
            “kenapa? Si Raga lagi? Kenapa lagi dia? Bikin ulah apalagi dia?” Andini mengintrogasi

            “kenapa sih setiap bahas Raga kamu selalu ketus gini Din, kamu tuh kayak gak ngerti perasaan aku”

            “karena Aku peduli sama kamu Raa, kamu itu kenapa sih? Apa bagusnya sih si Raga sampai kamu nyaris gila gini krena dia? kamu gak punya hubungan apa-apa kan sama dia selain teman BBM’an?, kamu pacarnya? Bukan kan? Gebetannya? Jangan sampai kamu doang yang nganggep gitu. Kamu  orang yg penting buat dia? Kayaknya gak deh, kamu doang yg kepedean, buka mata Raa. Sadar, kamu itu bukan siapa-siapanya dia, jadi kamu juga gak harus menderita gini karena dia, mending kalau dia pantes buat diharap-in” serang Andini dengan nada cukup jengkel.

        “sukaa? Dia suka gak sama kamu? Sadar deh Raa, selama ini status kamu buat dia itu apa? kamu Tanya dong sama dia, sebenarnya dia tuh nganggep kamu apa? Temen doang, HTS’an, atau temen bbm-an-zone? Aku gak ngerti sama hubungan kamu sama dia, hubungan yg gak punya masa depan tau gak” serang Andini dengan selongsong peluru yang begitu pahit dari bibir tipisnya.

            “Aku yakin dia punya perasaan yg lebih dari sekedar teman, kalau pun sekarang udah nggak, Aku yakin itu pernah, aku yakin dia pernah punya perasaan yg lebih buat aku, hanya saja dia belum bisa bilang, gak tau juga knapa” tangkis ku lagi dengan nada rendah

            “karena dia gak punya nyali, krena dia pecundang, dan kamu mau aja nunggu buat pecundang itu? kamu galau, sakit hati, nangis kyak gini Cuma buat dia itu bener-bener bego Raa, apasih hebatnya Dia?

            “Andini, kamu gak ngerti Din, Cuma aku yg ngerti perasaan aku sama dia”

            “Araa, sebenarnya kamu itu gak cinta sama dia, kamu Cuma ngerasa punya dia aja karena sering komunikasi sama dia, kamu berasa deket aja sama dia karena selama ini Cuma dia orng yg bisa kamu ajak chatingan ngelantur, kamu itu Cuma kebawa sama perasaan sendiri,  sebenarnya kamu itu gak cinta sama dia” ujar Andini berteori

            “salah Din, Aku cinta sama dia, setiap Aku liat dia sama cwek lain Aku ngerasa ada sesak yg berdesakan kluar dari rongga dadaku, perutku serasa ditonjok setiap liat dia sama cwek lain, yg Aku rasain ini cinta Din, bukan sperti yg kamu bilang tadii”

⌂⌂⌂
Sesekali Aku memukul-memukul jidatku sendiri, menghempaskan tubuh ketempat tidur, kemudian bangun lagi, lalu memeluk bantal dengan erat, sesekali juga kepalaku ku jedot-jedotkan kebantal itu.

Gadis berambut pendek dengan mata hitam bellow yang kutatap dicermin itu sedang mengingat-ngingat kembali percakapan seriusnya dengan Andini sahabatnya ditaman kampus tadi siang.

Sesekali kulirik laptop yg sedang dalam kondisi online tersebut, di chatOnline pada jejaring social itu, ada nama Raga, ingin sekali Aku memulai percakapan dengan basa-basi seperti biasanya, tapi saat ingin menekan keybord laptop, suara Andini yang cempreng itu seakan menyeringai ditelinga, seperti berteriak tidak membiarkan ku melakukannya.

Raga adalah seniorku dikampus, kami sering berkomunikasi dihampir semua jejaring social yg kami miliki, pembicaraan yang biasanya kami bicarakn pun tdak jarang malah ngelantur tdak jelas, tapi jika orng lain membacanya, kami seakan sepasang kekasih yg selalu berbeda pendapat. Aneh, karena sebenarnya kami tidak punya hubungan selain “Senior-junior-zone.

Awalnya Aku memang tidak punya perasaan apa-apa pada Raga, tapi seiring dengan seringnya kami berkomunikasi, Aku mulai merasa ada yg beda, Aku mulai tidak senang jika Raga mengacuhkan chat ku, membalas chat seadanya, atau terlalu lama memblas chat, dan yg pling Aku rasakan beda, sekarang Aku merasa begitu sakit jika melihat atau mngetahui Raga sedang dekat dengan perempuan lain.

Tidak terkecuali, Namira, Namira adalah teman sekelasku, perempuan yg Aku akui memang lebih cantik dariku dari segi fisik ini adalah saingan utama ku, semua tau, klo Namira juga sudah lama punya perasaan suka pada Raga, dan celakanya dibanding Aku, public memang lebih mengetahui kedekatan Raga dan Namira, dibanding hubungan dunia maya Raga dan Aku.

“Pada apa-apa yang dia pikirkan selain tentangku, Aku cemburu”

Raga dan Aku memang terbilang sangat akrab dan cenderung membingunkan, akrab sekali saat beradu pendapat didunia maya, tapi seakan tidak kenal saat bertemu didunia nyata. Semua orang yg mngetahui hubungan kami itu bingung dengan sikap dan tingkah laku kami. kami berdua seakan sedang beradu kehebatan dalam menebak perasaan masing-masing. Tidak ada yg ingin terlihat begitu berharap sehingga muncul spekulasi-spekulasi kegengsian yg semakin menjauhkan kami dari kata “jadian”.

Terkadang kejenuhan akan semua polemik itu pun sesekali menghampiriku, Aku merasa jenuh akan semua ketidak pastian ini, bukan hanya bercerita pada Andini, Aku pun sering menceritakan semua gundah itu pada Wiraa, teman sengkatanku. semua tau kalau aku memang sangat akrab dengan Wira “ si gigi keinci” Seperti itulah Wira mengenaliku.

Wira selalu ada untukku, sekedar mendengar keluh kesah teman cerewetnya ini, atau sesekali mengajakku jalan untuk sejenak tidak mengingat tentang kegalauan ini. entah kenapa Aku memang selalu merasa nyaman aja klo ada Wira, Wira seakan tempat teduh yg begitu sejuk dikala hujan deras. Hujan deras yang dicipta lelaki bernama Raga.


⌂⌂⌂
            “gak, gak boleh gini terus, Aku gak boleh stay dengan keadaan bodoh ini, kalau dia gak bisa ngomong, aku yg akan ngomong duluan” ujarku tiba-tiba saat berada didalam kelas bersama Andini.

            “hah? gila kamu, kamu itu cewek Raa, walaupun kamu yakin dia juga punya perasaan yg sama dengan kamu, yah tapi gak harus kamu dong yg ngomong duluan” sambut Andini berang, Andini seakan ingin menelanku hidup-hidup pagi itu dengan keputusan yang dianggapnya sangat konyol.

            “bener kata Riani difilm yg kita nonton kemarin, gak enaknya jdi cwek tuh kalau suka gak bisa ngomong Cuma bisa nunggu aja, tapi  aku udah gak bisa nunggu Din, sekarang aku cuma punya 2 pilihan, tetap menunggu sperti yg dikatan Riani, atau beranjak stelah mengatakn apa yg sebenarnya memang harus dikatakan, dan pilihan Aku adalah opsi yg kedua.” Jawabku mantap.

            “maksud kamu?” Tanya Andini tidak mngerti

            “Aku akan ngomong sama Raga, Aku akan katakan apa yg seharusnya dia katakan sejak dulu, Aku akan ngajarin dia, bahwa cinta itu harus dikatakan, karena cinta itu harus memiliki kecuali untuk seorang pecundang” jawabku tanpa menatap Andini.

Selesai kuliah, Aku meminta Raga untuk bertemu di Taman kampus. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Raga datang juga. Dan sekali lagi Aku harus setuju dengan nuraniku, hari ini entah kenapa Raga terlihat begitu memesona denga jumper merahnya.

            “ada apaa?” Tanya Raga seraya duduk dibangku yg berada tepat didepanku.

Itu untuk pertama kalinya kami berdua, (hanya berdua tanpa teman-temannya yg lain) bicara dengan bertatap wajah setelah selama ini hanya menjalaninya dijejaring social. Aneh bukan? Tapi itulah yg terjadi

Aku diam sejenak, sedang mngumpulkan keberanian, kemudian menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan singkat Raga.

            “aku mau ngomong”

            “apaa?”

            “kamu jadian sama Namira?” tanyaku dengan mata tajam

            “tidak” jawabnya singkat setelah terdiam untuk beberapa detik

            “kalau begitu, berhenti jadikan dia senjata untuk membuat saya sakit hati, kelakuan kamu itu sukses membuat aku merasakan perih setiap melihat kamu mengumbar kedekatan dengannya dijejaring social, kamu tau kan itu sangat menyiksa?”

“kamu” memang caraku menyebutnya, dia seniorku, tapi entah kenapa aku tidak suka memanggilnya ‘kak’.

Tidak ada jawaban dari Raga, matanya menatapku tak kalah tajam, tapi terlihat kegugupan diwajahnya, kemudian mengalihkan pandangan saat sadar air mataku nyaris membuat pipi yang sudah lama ditinggal rona sang jingga ini basah kuyup.

            “kenapa? Kenapa diam? Itukan tujuan kamu selama ini? Membuat aku cemburu dengan menggunakan namira sebagai senjata? Iyya, kamu sukses. Karena aku memang sangat sakit hati dengan kenyataan itu, kenapa harus begitu? Supaya saya akhirnya takut kehilangan kamu dan akhirnya ngomong kalau aku jatuh cinta sama kamu? Jika itu maksudnya, kamu berhasil. iyya, aku memang suka sama kamu, Kamu tau kan kalau aku suka sama kamu? Dan kamu juga tau persis kan kalau pun begitu?” serangku, sekarang dengan air mata yg gagal kusembunyikan.

            “Araa” respon Raga lirih

            “apaa? Kamu mau bilang aku salah? Iah, aku salah kalau kamu suka sama aku? Kamu mau bilang kalau slama ini hannya aku yg GR? Kalau begitu jelaskan tentang sikap kamu slama ini padaku, jelaskan tentang respon anehmu setiap aku ngebahas cwok lain di chatingan kita, jelaskn tentang smua usahamu cari tau tentangku dijejaring social, yah aku tau smuanya, dan jelaskn tentang perasaan yg selama ini kamu simpan untukku, jelaskn sekarang, katakana bila selama ini Cuma aku yang jatuh cinta sendirian!!”

            “tidak ada yg perlu saya jelaskan Raa, krena kamu sepertinya kamu jauh lebih tau dariku. iyya, aku memang suka sama kamu” jawab raga dengan nada rendah

            “lalu, kenapa selama ini kamu hanya membiarknku menebak semua perasaanmu, kenapa kamu gak pernah berani untuk bilang? khawatir? bukankah cinta tidak mengenal alasan untuk tidak diungkapkan? Atau kamu memang menungguku mengatakan semuanya duluan sperti ini?” tanyaku kecewa.

            “maaf Raa, aku memang salah, dan aku memang takut mengatakan semuanya, kamu pikir hanya kamu yg menjadi penebak selama ini? Aku juga, aku juga selalu menebak sikapmu, perasaanmu, dan aku takut tebakanku selama ini salah. Raa, ini untuk pertama kalinya aku jatuh cinta seperti ini, dan untuk pertama kalinya mencoba mengatakan cinta pada perempuan yg aku cintai, jadi maaf klo aku memang belum punya cukup keberanian untuk itu, aku tdak tau bgaimana cara memulainya, yg aku tau hanya aku mencintaimu”

Aku masih menangis, menelan ludah yg entah mengapa terasa begitu pahit, Aku menghela nafas panjang. Leherku serasa tercekik sehingga tdak bisa berkata apa-apa lagi.

            “iyya, kamu benar Raa, aku cinta sama kamu, dan ini sdah lama kurasakan, tentang Namira kamu benar, aku memang selalu berusaha membuatmu cemburu dengan menjadikannya senjataku, maaf Raa mungkin itu caraku menerjemahkan sakit hatiku ketika kamu bilang suka sama cowok lain saat chat denganku, perih yg kau rasakan aku mengerti, tapi aku berani bertaruh aku jauh lebih perih saat kau melakukakn itu”

            “iyya aku jatuh cinta sama kamu Raa, dan ini sudah lama kurasakan” lanjutnya lagi, kali ini dengan tatapan penuh arti.

            “tapi semuanya sudah terlambat, sikap kamu selama ini sukses membuat saya jatuh cinta pada orang lain, caramu membuatku cemburu dengan menjadikan Namira seolah-olah orang paling berarti buatmu, membuatku seakan ditampar kenyataan dan kemudian membuatku lupa bahwa kau hanya berpura-pura, kepura-pura-an mu justru membuatmu terasa asing dikepalaku. iyya, aku mencintaimu, tapi cinta itu hilang disapu perih yg begitu menyakitkan saat kamu melakukan hal itu, mengumbar kedekatan dengan Namira didepan public, sebuah tindakan yg sukses membuat orang-orang terseyum ibah padaku karena kalah dari Namira”

            “maksud kamu?” Tanya Raga

            “aku hanya ingin tau dan aku hanya ingin pastikan kalau kamu memang jatuh cinta padaku, dan Namira tdak lebih dari spekulasi untuk membuatku cemburu, meski hanya aku yg tau aku sudah senang, publik tdak perlu tau untuk membuat mereka sadar siapa pemenang yg sebenarnya, karena cinta itu bukan soal menang atau kalah, tapi soal nyata atau semu, dan sekarang aku sudah tau kenyataan bahwa kamu juga suka sama aku meski itu masih semu buat mreka, tapi aku sudah senang”

            “tapi maaf, aku sudah mencintai orng lain, orng lain yg bisa lebih jujur dengan perasaannya, terimaksih untuk semuanya, setelah hari ini tolong jangan pernah ingat lagi kita pernah punya cerita sperti ini, lupakan aku, seperti aku yang akan melupakanmu juga” lanjutku lagi dengan wajah yg kuusahakan terlihat tegar.

            “Araa” sambutnya dengan nada agak tinggi

            “terimakasih, mungkin laki-laki ini belum bisa membuatku tersenyum lepas seperti saat kita beradu kekonyolan dijejarig social selama ini, tapi setidaknya dia tidak pernah membuatku menangis karena keraguannya”

Aku menyentuh tangan Raga untuk pertama dan terakhir kalinya, memegang tangannya erat kemudian tersenyum,
            “lupakan aku, dan aku mohon, ini jangan pernah terjadi lagi pada perempuan lain, jangan pernah menyandung kakinya hanya untuk memegang tangannya”

Raga msih terdiam, Aku merasakan tangan Raga begitu dingin dalam dekapan tanganku, Aku kemudian melepas genggaman itu, tersenyum pada Raga

 “terimakasih sudah mencintaiku, jangan membuat seseorang menunggu lagi, bukankah menunggu untuk seseorang yang tidak tau jika Dia sedang ditunggu adalah sebodoh-bodohnya penantian?” ucapku lirih seraya beranjak dari tempat itu.

Aku meninggalkan Raga yang entah perang apa yang terjadi antara Dia dan hatinya. Biarkan cerita kita ini selayaknya lembar kosong dalam sebuah buku. Terlewatkan.