J.I.K.A
Semburat
senja merambat ke pinggir kacamata Mosha, membuat bola mata hitam legam gadis
berambut hitam sebahu itu di silaukan bias jingga sang senja, pipi tirus nya
pun dibuat tampak merona.
“Ah, cinta betapa jahat kau membuat
ku se-menderita ini” gumam nya lirih sembari menghela nafas panjang.
Di
tengah lamunan nya, Ia tiba-tiba tersenyum sinis, senyum yg ditujukan untuk
dirinya sendiri. Kemudian meraih cangkir putih berisi Americano tanpa gula yg
sedari tadi menemani nya lalu menyeruputnya habis. Kepala nya seperti sedang
memutar adegan demi adegan masa lalu yg begitu menyesakkan dada. Entah kenapa,
Americano tanpa gula yg di minum nya tadi terasa jauh lebih pahit dari
biasanya.
Mungkin
Dia terlihat baik-baik saja, tapi tidak dengan hati-nya. Hati-nya sedang sangat
berantakan, seperti ruang yg baru saja di ombang-ambing ombak. Dia adalah
seorang perempuan yang jatuh tersungkur setelah di keroyok kenangan dan
kemudian sekarat dalam kerinduan. Setidaknya, itu kalimat yg cocok
menggambarkan perasaan gadis penikmat kopi ini.
“Haii, Shaa.. udah lamaa? Sory
telat, macet banget tadii”
Tiba-tiba
seorang laki-laki yg ditunggunya sedari tadi menghampiri, laki-laki dengan
perawakan lumayan tinggi, berkulit cerah bersih, dengan celana jeans hitam dan jumper
biru gelap. Laki-laki gagah dengan rahang yg tercetak jelas itu mengambil
posisi duduk persis di depan Moshaa.
“lumayan, cukup lah buat mutar ulang
kenangan masa lalu sama Dia. Oy,apa kabar?” Tanya nya kemudian seraya
menyodorkan buku menu ke laki-laki tadi”
“kabar?, pertanyaan kamu ada yg
lebih bagusan dikit ga? Galau bener Sha, yah baik-baik ajalah, klo ga mana bisa
ada disini” menjawab sekenanya. lalu memesan se-cangkir Mocacinno panas pada
pramusaji yg sudah menunggu pesanan.
“Maksud aku, hati kamu apa kabar?
Kita punya masalah yg sama kan, Bar. Kita sama-sama berada di depan pintu yg
kita sendiri ga berani buat buka, apalagi buat melangkah ngelewatin pintu itu”
Yang
diajak bicara malah tiba-tiba diam, Ia menatap lekat-lekat wajah gadis berwajah
sendu di tinggal rona jingga senja di depan nya itu.
Laki-laki
yg sedang menuang gula ke cangkir Mocacinno nya itu bernama Bara, laki-laki
dengan karakter nyeleneh tapi berpola pikir tak terduga ini adalah sahabat
Mosha. Buat Moshaa, Bara adalah dirinya versi laki-laki, begitupun dengan Bara,
menurutnya Moshaa adalah dirinya versi perempuan. Rahasia Bara adalah rahasia
Mosha, dan rahasia Mosha adalah rahasia Bara. Mereka punya karakter, selera dan
terkadang pemikiran yg sama, hal itulah yg membuat mereka betah berlama-lama
bersahabat.
Menurut
orang, mungkin Mosha adalah gadis nyeleneh yg periang, manusia yg mungkin nyaris
ga punya masalah dalam hidup. Tapi di mata Bara, Mosha adalah gadis dengan
beban hati yg bgitu berat, gadis yg begitu takut menerima kenyataan bagaimana
klau selama ini Dia hanya jatuh cinta sendirian, bagaimana jika laki-laki yg
sedari dulu Ia dakwa menyukainya ternyata tidak lebih dari sebuah kesalahan
besar. Mosha, seorang gadis yg terlalu sering diam-diam terisak dalam senyum,
atau berteriak diantara kebisingan kemungkinan-kemungkinan yg saling bersahutan
dalam pikirannya. Bagi Bara, itulah Moshaa yg sebenarnya.
Begitupun
dengan Bara. Mungkin bagi sebagian orang, Bara adalah laki-laki nyeleneh yang
bahagia dengan hidupnya sendiri, orang yg ga pernah dengerin apa kata orang
lain, seseorang yg bahagia dengan hatinya tanpa peduli dengan beberapa
perempuan yg diam-diam menyukainya, Bara adalah laki-laki yg membuat seorang
perempuan bernama Nessa menjadi salah satu perempuan yg dicemburui banyak
perempuan lain karena berhasil membuat Bara memanggil nya “Sayang”. Tapi bagi
Mosha, Bara adalah laki-laki yg memiliki beban perasaan yg tidak kalah rumit
dengan nya, laki-laki dengan pertimbangan atas resiko yg akan begitu
menyakitkan, di mata Mosha, Bara adalah laki-laki yg sedang di permainkan oleh
keadaan dan perasaan nya sendiri.
“kamu sama Raga apakabar? Ada
perubahan?” Tanya Bara tiba-tiba setelah mereka berdua sama-sama terdiam untuk
waktu yg cukup lama. Cukup lama untuk membuat Mocacinno panas dengan gula tadi
tidak panas lagi.
“ada, semakin parah. Sekarang Dia
udah ga pernah hubungin aku duluan lagi, kemarin setelah babak belur melawan
gengsi, aku akhirnya hubungin Dia duluan, tapi yah gitu, Dia udah beda. Sangat”
“beda? Maksudnya?”
“aku ga tau, tapi aku rasa beda aja.
aku ga tau harus basa-basi apa kalau jawaban nya Dia sedingin itu, ga ada umpan
balik sama sekali kyak dulu, mungkin Dia udah benar-benar muak sama aku yg
kelewat drama, mungkin sekarang Dia lagi sebel banget sama aku, karena saat Dia
ingin beranjak pergi, aku malah tiba-tiba narik tangan nya lagi dengan wajah
memelas” Mosha beranalogi sendiri, gadis yang wajahnya nyaris tak pernah di
sentuh kosmetik ini semakin terlihat memilukan.
“mungkin Dia mikir kalau kamu
bener-bener suka sama Dia, kamu bakal terus berusaha buat minta Dia tetep
tinggal dengan bahasa yg lebih mudah Dia mengerti, coba deh skrang berani
ngomong baik-baik, jangan ngode-in aja, krena ga semua orang bisa membahasakan
kode dengan baik. Orang se-sayang apapun klo Dia ngerasa ga ada umpan balik yah
bakal berenti di jalan juga kan? Kyak kamu sekarang, nyerah stelah ngerasa ga
ada umpan balik dari Dia” Bara mencoba menebak sembari menasehati sahabat
baiknya ini.
“aku takut Bar, aku takut klo
akhirnya sekarang Dia udah ga punya perasaan apa-apa ke aku kayak dulu,
sekarang aku ga berani untuk berpikir Dia masih suka sama aku. Dulu, aku yakin
banget kalau Dia suka sama aku, sayangnya aku terlalu gengsi buat nunjukin
kalau aku juga suka sama Dia”
“nah kan, dulu Dia udah ngulurin
tangan baik-baik untuk megang tangan kamu, tapi sayangnya kamu malah tidak
menyambut itu dengan baik, jadi jangan salahkan Dia, kalau sekarang Dia lebih
suka menyandung kaki mu dulu, hanya untuk memegang tanganmu. Ingat Sha, selain
bisa menjawab semuanya, waktu juga bisa mengubah semuanya loh?”
“entahlah, mungkin sebaiknya biarkan
saja semua inii di ubah waktu, biarkan saja Dia pergi, biarkan saja semuanya
berakhir sepahit ini, biarkan saja cinta kami tak bertuan, aku harap Dia
secepatnya bisa mendapatkan perempuan yg lebih baik, agar aku punya alasan
untuk benar-benar bisa melepaskan nya” jawabnya putus asa
“dan kamu akan baik-baik saja kalau
itu terjadi?”
“tidak mungkin, aku ga bisa bayangin
bgaimana hancurnya Aku jika itu terjadi, tapi akan lebih baik seperti itu,
sekalian aja hancur, daripada kayak gini, terluka perlahan-lahan, saking
banyaknya, aku bahkan ga tau luka mana lagi yg belum sembuh”
“Sha, coba deh egonya di buang
jauh-jauh dulu, kamu deh coba gerak duluan, kasih perhatian ke Dia, hubungin
duluan, chat basa-basi aja, hitung-hitung coba baikin hubungan kyak dulu lagi,
kalau kalian berdua Cuma adu-aduan ego, yah, nunggu kalian jadian kyak nungguin
ending Detective Conan, Sinichi bakal jadian sama Sonoko. Ga mungkin. Iya ga?”
“terserah deh, buat gerak duluan itu
ga semudah nebak ending nya ftv tau, Bar. Susah, aku ga bisa, Aku lebih baik
tetap nunggu Dia gerak duluan, daripada harus aku yg gerak duluan, selama
apapun itu, akan aku tunggu”ujar Mosha seraya mendengus. “oiya, kamu sama Nessa
apa kabar? Udah curiga belum Dia, tentang hubungan kamu sama Adisaa?” lanjut
nya kemudian.
“baik kok Dia, masih kayak dulu,
kayaknya belum tau deh” jawabnya seraya meneguk Mocacinno nya tadi, Mocacinno
dengan gula, tapi entah kenapa terasa begitu pahit di indera pengecapnya.
“terus hubungan kamu sama Adisa
gimana? Gitu-gitu aja stelah confess? Dia pernah bahas tentang Nessa ga?”
selidik Mosha lagi
“yah gitu-gitu aja, setelah Aku
confess, apa-apa yg dilakuin berdua berasa canggung, ngobrol sama Dia aja
rasanya jadi lain, yg biasanya ngalir gitu aja, jadi di pikir seribu kali dulu
kalau mau di omongin, Dia paham banget hubungan aku sama Nessa, meski Dia ga
pernah nanya soal itu”
“Aku ngerti perasaan Adisaa, hati
Dia pasti kacau banget, Dia suka sama Kamu, tapi Dia ga bisa leluasa bilang
iyya, karena Dia paham, kamu punya Nessa yg notabene semua orang tau kalau
kalian pacaran, Dia seneng kamu sayang sama Dia, tapi Dia sedih karena ga bisa
cerita ke orang lain kalau ada kamu yg sayang banget sama Dia, karena keberadaan
Nessa. Dan itu nyakitin, Bar”
“menurut kamu, Aku salah banget yah,
Aku jatuh cinta sama Adisaa disaat aku masih terikat sama Nessa?”
“salah. Itu pendapat umum, tapi hati
siapa sih yg bisa nebak, kita yg kemudian jatuh cinta pada orang lain saat kita
masih terikat sama seseorang menurutku itu soal perasaan, perasaan yg ga bisa
di bohongin, perasaan yg ga bisa di tampik, kalau memang nyata nya gitu, kita
bisa apa selain mengakuinya dan menyelesaikan nya dengan baik, iya kan?”
“jadi menurut kamu gimanaa? Aku
sayang banget sama Adisaa, Sha. ga tau kenapa rasanya teduh aja kalau sama Dia,
tapi Aku juga ga bisa nyakitin Nessa”
“nah, sama kayak Aku, kamu harus
berani gerak, bedanya klo aku ga gerak, yg sakit Cuma Aku aja, atau paling ga,
yg menderita Cuma kami berdua, tapi kalau kamu, kalau kamu ga gerak cepat, ada
3 hati yg sakit, Adisa, Nessa, dan kamu sendiri, mending gerak sekarang,
sebelum Nessa benar-benar udah kepalang cinta sama kamu, dan sebelum Adisa
akhirnya capek Cuma bisa milikin kamu secara hati tpi tidak dengan fisik”
“ah, keadaan. Betapa tega Dia
membuat semuanya se-menyakitkan ini” Bara mendengus
“tapi Bar, saat kamu milih buat
gerak, kamu harus siap dengan segala resiko nya, dampaknya buat Nessa, dan buat
Adisaa sendiri, setelah kamu gerak dan mutusin buat milih Adisaa, kamu harus
siap di benci sama Nessa, dan Adissa harus siap di judge perempuan perebut
pacar orang, kalau kalian udah siap dengan badai itu, yah silahkan gerak”
“aku ga tau gimana Nessa kalau aku
akhirnya ngelakuin itu semua” tatapan Bara tajam, Ia seperti sedang membayangkan
semua kemungkinan yg akan terjadi atas keputusannya nanti.
“Bar, kamu tau hal yg paling
menyakitkan di dunia ini? Iyya, di tinggal pas lagi sayang-sayangnya, itu
adalah sakit paling menyakitkan, dan itu akan membekas lebih lama dari
selamanya, Aku tau, karena sekarang aku sedang berada pada masa itu, dan mungkin
cepat atau lambat pun akan di rasakan oleh Nessa” ucap Mosha dengan wajah tanpa
ekspresi, namun memberi penekanan yg sangat beda saat dia menyebut kata
“sakit”.
“Jika saja Aku ketemu Adisaa lebih
dulu, atau Jika saja Aku udah ga punya ikatan apa-apa dengan orang lain, Jika
saja keadaan tidak serumit ini, mungkin Aku tidak akan se-sesak ini” ujar Bara
kemudian dengan wajah yg memilukan
“dan jika saja aku tidak terlalu
gengsi hanya untuk bilang tolong jangan pergi ke Raga, mungkin rasanya tdak
akan seperih ini” ucap Mosha pun dengan wajah yg tak kalah memilukan
“jika saja kita berani gerak, jika
saja kamu bisa ngelawan egomu, dan jika saja Aku bisa ngadepin resiko besar itu
mungkin kita tidak hanya duduk berdua disini dengan ekpresi sepilu ini” lanjut
Bara lagi
“iyya, Jika saja semua “Jikaa” yg
kita ujar tadi bisa berubah menjadi “akhirnya” mungkin disamping kamu itu sudah
ada Adisaa yg sedang tersenyum manis, dan disamping Aku udah ada Raga yg selalu
berhasil bikin aku tersipu, ah, Jika” Ucap Mosha lagi seraya menyunggingkan
senyum pahit, yg kemudian di timpali dengan senyum yg tak kalah pahit dari
bibir Bara, senyum sepasang sahabat dengan persoalan hati yg hanya bisa sampai
pada batas “jika”.